Keliling Kampung

Lagi-lagi...lagu Letto yang bertajuk “Sebelum Cahaya” menjadi soundtrack mimpi saya dan Deni. Tapi, kali ini terdengar lebih kencaang!!, sehingga mengganggu tidur saya (mungkin juga Deni) pagi ini hehe.... Ketika saya keluar dari kamar, relawan yang suka dipanggil Ici sedang mengutak-ngatik photo kang Gogon dengan Photoshop sambil menikmati lagu bagus tetapi sayang menjadi soundtrack sinetron kampungan itu. Nyawa belum terkumpul semua, mata masih sepet, sepertinya tak rela meninggalkan bantal putih yang selalu menemani saat tidur. Sedikit kesal pun tetap ada, jam dinding yang mirip kompasnya Jack Sparrow dalam film Pirates of The Carribean yang selalu ngaco menunjukkan jam 05.44. Saya tahu itu salah. Kemudian balik lagi ke kamar, lihat jam di hp.......Waaaaaahhhhh! pantesan! Sekarang sudah jam 11 siang! Padahal, tadinya kita mau berangkat ke Kerkop, sebuah lapangan olahraga di bilangan Merdeka yang suka dipake jalan-jalan masyarakat Garut pada Minggu pagi. Mirip minggu paginya Gasibu di Bandung lah, hanya di sini jauh lebih terawat! Yang jualan, cuma nongkrong, yang cari sarapan, dari balita sampe Abah Ema ada semua.

Tadi malam kami “nongkrong” di warnet sampe jam 3an untuk melihat-lihat blog residen lain sekalian posting perdana cerita kami. Wajar saja kalau kami kesiangan :) Kesal pun dengan tiba-tiba menghilang karena ternyata Ici (mungkin) sengaja membangunkan kami dengan mengeraskan volume speaker, dia dan relawan lain mengajak kami ke acara syukuran Sunatan cucu kembar mbah Warma yang hanya terhalang oleh 3 rumah dari beskem.

Kembali ke beskem, sebagian masuk beskem, yang lain di luar, termasuk saya. Tong...tong...ada tukang es corong lewat. Persis di depan beskem, ada kolam kecil. Dua kolam lain yang jauh lebih besar berada di samping kiri beskem. Dua kolam tersebut masing-masing berada di samping kanan dan belakang TK Aisyiah pimpinan Teh Yanti yang selalu mengajak kami untuk tinggal di rumahnya. Bangunan sederhana di atas tanah wakaf itu, berpagar bambu dengan cat warna-warni seperti warna wahana bermain anak yang ada di dalamnya. Bagian depan dominan warna pink kusam dan biru, kecuali jendelanya yang berwarna-warni.

Dari beskem, menuju jalan besar kampung , nengok ke kanan, saya melihat warna hijau lebih dominan, warna biru urutan kedua, sisanya putih, pink dll. Ke arah kiri, tetap hijau lebih dominan. Dari persawahan sebelah barat, melihat ke perkampungan, bukan warna yang lebih menonjol, tetapi dinding2 belakang rumah warga yang belum dipelur, sehingga yang terlihat hanya batu bata yang menyusun dinding2 rumah warga. Ternyata kondisi rumah seperti itu memang dominan di kampung Panawuan. Bangunan-bangunan (rumah) terlihat sudah “berumur” apalagi ketika masuk ke dalam perkampungan. Kusam karena debu atau memang sudah lama. Adapula yang merupakan bangunan baru. Rumah-rumah baru pun sepertinya banyak yang tidak rampung. Kebanyakan sudah pakai lantai, ada beberapa rumah panggung. Rumah yang masih memakai bilik cuma beberapa.

Di tengah Kampung Panawuan Tonggoh ada sungai selebar kurang lebih 1meter. Sepertinya ada beberapa atau mungkin banyak warga yang suka buang sampah di situ. Dampaknya dirasakan oleh warga Kampung Panawuan Lebak terutama yang terletak di pinggir sungai. Jika musim hujan seperti sekarang, air meluap bersama sampah2 itu ke sekitar rumah warga Panawuan Lebak. Dulu, kata Kang Ao yang memandu kami keliling kampung hari ini, sungai ini lebar sekali. Sekarang, tanpa pakai jembatan pun kita masih bisa nyebrang dengan meloncat.

Kami mampir dulu ke rumah salah seorang tokoh masyarakat Panawuan Tonggoh. Warga menyebutnya Pak Mun, nama lengkapnya Pak Munawar. Beliau mengisi pengajian di 4 mesjid, mengajar bahasa Sunda dan bahasa Arab di tempat lain. Yang paling hebat kata warga adalah beliau juga mengurusi arisan 4000 orang warga kampung Panawuan. Saya sangat terkejut ketika Kang Ao mengatakan, Pak Mun itu baru berumur kira2 26 tahun! Sebutan “Pak” kepadanya karena masyarakat sangat menghormatinya. Lahir dari keluarga yang sangat sederhana, dia laki-laki yang ulet, tak kenal lelah dan penuh semangat. Bahkan, ada warga yang suka menyebutnya “Haji”. Sayang, kami tidak dapat menemuinya hari ini karena beliau tidak ada di rumah.

Hampir setiap saya berdiri, saya selalu melihat warna hijau dan/atau biru. Namun kesimpulan sementara ini, hijau sepertinya lebih banyak. Sepertinya hamparan sawah yang hijau membawa warna ini ke level “top of mind” dalam otak masyarakat. Warna biru sepertinya terpengaruh oleh warna identitas salah satu partai dan organisasi Islam yang paling dominan di daerah ini. Saya mencatat, ada 5 rumah bergaya artdeco (mungkin? P Fahmi yang lebih tahu) di Panawuan Tonggoh, salah satunya telah di potret. Kami tidak bisa mengambil gambar banyak, karena habis baterai :).

Ada 6 orang warga sedang “ngadu muncang“ yang menjadi salah satu masalah di kampung Panawuan. Permainan yang suka dipakai judi oleh beberapa warga ini sering menjadi bahan perbincangan. Kami mampir dulu ke rumah Denden, warna catnya juga hijau. Fasilitator CDASC ini termasuk orang yang dihormati masyarakat. Setiap kita pergi kemana-mana, selalu ada yang menyapanya dengan akrab.

Masyarakat mengakui keberadaan CDASC memang sangat berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi. Menurut Kang Ao, dulu ketika SMA, susah sekali mengajak teman sekolah ke rumah karena pada waktu itu, Panawuan sangat kacau. Pihak keamanan pun sering sekali datang waktu itu. Perubahan terjadi sekitar tahun 2002, dan CDASC yang datang di awal tahun ini memang sangat membantu. Warga masyarakat Panawuan sepertinya sudah sangat mengenal organisasi ini meskipun di beskem tidak ditempeli identitas visual yang memadai. Tidak bisa dipungkiri ada juga sebagian warga yang "sinis" terhadap CDASC. Mungkin kami bisa menemukan penyebab2nya nanti.

Semua kegiatan yang dilakukan masyarakat murni inisiatif sendiri karena pemerintah setempat tidak terlalu peduli dengan keadaan kampung. Mang Dede, ketua relawan Panawuan Lebak yang sekaligus ketua RW 07, merupakan penggerak kegiatan di Panawuan Lebak. Selama kami di sini, Pak RW ini hampir tiap hari datang ke beskem walaupun cuma sekedar nongkrong. Menurut relawan, beliau bisa lebih aktif bersosialisasi terhadap masyarakat lewat adanya program CDASC, bukan karena adanya bantuan atau program pemerintah.

Setelah bertanya ke beberapa warga, termasuk relawan, tidak ada bukti fisik peninggalan sejarah. Tidak ada simbol atau bangunan yang dikeramatkan. Dahulu, kata Mang Dede sekitar tahun 70-an, ada sebuah batu yang yang disebut “BATU SILA” (batu yang menyerupai bentuk manusia seutuhnya seperti sedang bertapa) yang menimbulkan keresahan di masyarakat karena oleh sebagian warga dipakai untuk “meminta sesuatu”. Bahkan menimbulkan ideologi baru di masyarakat. Menurut “mitologi Panawuan”, patung tersebut dulunya adalah orang yang sedang bertapa. Patung yang terletak di pinggir sungai Cikamiri itu, digulingkan ke sungai oleh warga Muhammadiah yang khawatir akan menimbulkan kesesatan di masyarakat. Tempat sumber mata air bersejarah yang memunculkan kata “Pa-NAWU-an” pun sekarang sudah dijadikan rumah warga yang berwarna kuning. Memang, karena airnya sudah kering sejak lama. Tidak jauh dari bekas mata air tersebut, ada Madrasah Diniyah Panawuan dominan warna biru, sesuai dengan warna identitas organisasi Islam yang menaunginya. Di depannya ada mading dengan bingkai kayu dominan warna hijau, warna hitam sedikit, merah, kuning dan putih.*

Haris Gunawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar