Hari Pertama. Hari ini merupakan hari yang serba “pertama kali” buat saya. Pertama kali ditilang, hari pertama kerja, pertama kali masuk BNI Garut (hehe maksa..) dan “pertama kali-pertama kali” lainnya yang lebih maksa :)
Salam kenal buat residen Padang, Bantul dan Bengkulu!
Meskipun pertama kali datang ke tempat tujuan (beskem), ternyata kegiatan hari ini cukup padat. Dari mulai beres2 apa yang mau dibawa ke Panawuan shubuh tadi di rumah, sampe “ngobor” dan “ngaliwet” dengan relawan2 Panawuan barusan. Mungkin inilah dampak positifnya, karena saya dan Deni asli Sunda, apalagi saya orang Garut asli, tidak membutuhkan waktu terlalu banyak untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Panawuan, khususnya relawan. Saking asyiknya, wajar kalau laporan ini acak-acakan karena setiap “momen” pada hari ini sangat narsis. “Momen ditilang” ingin segera diceritakan kisahnya karena merasa ceritanya paling menarik, “momen di masjid agung” merasa kisahnya paling asyik, begitu juga “si momen-momen” yang lainnya hehe....
Saya dan Deni tidak berangkat bersamaan. Saya berangkat dari rumah (hanya menghabiskan waktu sekitar 1jam), Deni berangkat dari Bandung. Niatnya sih kita berangkat sepagi mungkin. Saya pun sudah siap-siap setelah sholat shubuh. Ternyata kakak sepupu yang mau nganter ke Panawuan, malah bangun kesiangan. Ya terpaksa nunggu sampe dia bangun. Sekitar jam 7an akhirnya dia bangun. Setelah semua siap, kita langsung “tebrang” ke tujuan...wushhhh!
Tujuh samudera, 5 benua kita lewati dengan aman dan tentram......cekiiiiiiitttt! motor lagi kenceng-kencengnya eh ternyata ada bapak Pulisi di depan minta kita berhenti. Padahal puncak tugu “Selamat Datang” untuk masuk ke Garut Kota sudah terlihat. Terpaksa kita berhenti dan raut muka sepupu saya pun mendadak merah, saya tahu dia tidak punya SIM.
“STNK?” kata pak Polisi.
“Ini pak”.
“SIM?”
“Tidak punya pak”.
“Ow.....kesana” kata bapak berseragam itu sambil menunjuk ke arah belakang mobil sedan. Sepupu saya pun memahami “isyaratnya”. Dia pergi ke belakang sedan, saya memindahkan motor lebih ke pinggir............................Setelah nunggu kira2 10 menit akhirnya dia pun datang.
“Sabaraha?” saya tanya,
“dua puluh rebueun meunang nawar” jawab dia bari terlihat sedikit kesal.
Baru saja mau tancap gas, hape’ku “menangis”, pasti yang nelpon orang gila. Ternyata bener.
“Ris, urang geus nepi di SMA 3”. Kata Deni.
“Wah ulah didinya, di masjid Agung we, di alun-alun!”
Wuuuuuuuuusssssh! dengan kecepatan yang luarrr biasa, saya pun meneruskan perjalanan yang hanya sekitar 10menitan lagi.
Akhirnya, sampe juga ke pusat kabupaten Garut, alun-alun. Sambil nunggu Deni, saya dan sodara pun duduk di gerbang timur alun-alun yang persis di seberangnya adalah Lembaga Pemasyarakan. Sambil menghisap rokok dan menatap dinding2 LP yang tingginya sekitar 4-5 meter (meureun...), sesekali angkot menghalangi pandangan kami. Setelah beberapa menit berlalu, ternyata Deni belum datang juga. Saya lalu berjalan-jalan di sekitar alun-alun sekalian mencari beliyaw, ehhh baru saja 33 langkah (ngarang lagi hehe..), saya melihat sesosok manusia yang tak asing sedang melambai-lambaikan tangan terhadapku yu...ternyata dia nunggu di pintu utara...ya iyalah ga bakal ketemu...
Dreeennnn....kita bertiga pergi ke BNI di Jl. Ahmad Yani yang tidak jauh dari alun-alun, sekitar 150an meter. Dan ternyata, bukan duit yang di dapat, tapi perut melilit karena tadi lupa tidak sarapan (banyak). Kita pun langsung berangkat ke Panawuan yang katanya hanya berjarak 1km dari pusat kota Garut.. Sebelum sampe ke beskem, hanya beberapa ratus meter, kita berhenti dulu untuk nelpon Denden, fasilitator CDASC Garut yang katanya akan menjemput kita. Ternyata dia bilang tunggu beberapa saat karena sedang mengerjakan sesuatu. Sambil menikmati sebatang rokok, pandangan2 kita tertuju pada puncak2 bangunan dan tower selular (memang tidak setingggi gedung2 di Bandung atau Jakarta, apalagi New York hehe...) yang berada di kota dan daerah sekitarnya. Saya yakin, pemandangan2 itu akan lebih indah dipandang dari Kampung Panawuan karena dari tempat kita nunggu Denden sekarang, menuju ke Kampung Panawuan menanjak.
Sekitar 15menitan menunggu, waktu di hape saya menunjukkan jam 10.22, orang yang ditunggu datang juga. Setelah sama-sama memperkenalkan diri (sebelumnya cuma ngobrol lewat sms & telefon), kita pun berangkat menuju kampung yang katanya dianugerahi tanah pertanian yang subur dengan ketinggian kurang lebih 725m di atas permukaan laut ini. Dalam perjalanan, sesekali saya menengok ke belakang menikmati pemandangan kota Garut yang semakin jelas terlihat. Prediksi tadi memang benar, di sini terlihat jauh lebih indah. Baru saja menikmati keindahan itu, eh... ternyata kita sudah sampai ke tujuan, saya harap kita bisa lebih jauh lagi ke tujuan. Tapi saya sadar, ternyata saya belum tahu apa-apa tentang daerah saya sendiri. Dan semakin merasa tidak tahu apa2 ketika ngobrol dengan relawan2 yang sangat menyambut kami dengan sangat akrab.
Ketika kita sampe di beskem, ada beberapa relawan yang sedang ngobrol. Masing-masing memperkenalkan dirinya dengan ramah, ada Kang Didin yang rumahnya dijadikan beskem ini, kang Ucup dan Ferry. Seseorang langsung keluar, ternyata dia dari warung membeli teh botol. Tanpa basa basi dan rasa canggung, kita pun langsung ngobrol, tapi kita coba untuk lebih banyak mendengarkan. Anggapan sementara saya secara pribadi, sepertinya masyarakat di sini sangat terbuka dalam segala hal. “Didieumah sagala ge aya, tinu alus jeung nu gorengna. Nu brutal jeung nu bageur, nu mabok, nu sok judi, bahkan PSK ge aya, santrina loba, ustad loba” tutur kang Didin yang merupakan ketua Karang Taruna di kampung Panawuan. Masyarakat di sini memang sepertinya terbuka terhadap hal-hal baru. Pendapat tersebut di “iyakan” oleh kang Didin yang sepertinya sangat mengenal kampungnya ini.
Sementara yang lain masih ngobrol, saya membuka tas untuk mengambil beberapa majalah desain grafis Concept dan buku2 lain tentang desain. Kemudian saya simpan di atas meja di hadapan mereka. Sementara relawan-relawan yang lain satu persatu datang. Beberapa detik kemudian, tak satu pun dari buku2 tersebut berada di atas meja karena relawan2 di sini mengambilnya untuk dibaca atau sekedar melihat-lihat. Untuk waktu yang cuku lama, beskem pun terasa hening karena masing-masing sedang sibuk membaca buku2 yang saya bawa.
Adzan dzuhur memecah kesunyian kami, Denden pun mengajak kami ke rumahnya yang katanya tidak terlalu jauh dari sini. Dari sini saya mulai tahu bahwa Kampung Panawuan itu tidak cuma satu. Beskem tadi termasuk kampung Panawuan Lebak (bawah), sedangkan rumah Denden termasuk Panawuan Tonggoh (Atas). Wahhhh.....ternyata kita diajak ke sana untuk makan! Aciiikkk! Obrolan di beskem tadi membuat lupa bahwa saya lappparrr. SMP, Sudah Makan Pulang hikhiks...Denden mengajak kita ke beskem Panawuan Tonggoh. Lagi-lagi ada kejutan, ternyata beskem CDASC punya 3 tempat di Garut. Panawuan Lebak, Panawuan Tonggoh, satu lagi di pusat kota Garut yang namanya kampung Lio. Lokasi beskem Panawuan Atas sangat dekat dengan rumah Denden ternyata. Dari sini, pemandangannya lebih indah karena letaknya sedikit lebih atas. Juga, beskemnya berada di sisi kampung, sehingga tidak ada yang menghalangi pandangan kita ke kota Garut yang ada di bawah kita.
Masyarakat Panawuan Lebak ternyata tidak hanya terkenal dengan berasnya. Kampung ini juga terkenal dengan seni beladiri Pencak Silat yang telah menetaskan jawara-jawara dan mampu mengukir prestasi di tingkat kabupaten, provinsi, nasional dan bahkan mancanegara. Nama perguruannya adalah Paguron Pencak Silat Putra Siliwangi yang merupakan warisan seorang tokoh Silat Garut Kenamaan bapak Mahmud (Alm) yang diteruskan oleh Kang Taufik dan Kang/Ki Barzah. Selai jago silat, Kang Barzah juga ketua RW 07.
Cerita tentang Pencak Silat tadi membuat saya dan Deni tertarik untuk mengunjungi Paguron tersebut. Setelah adzan Ashar, relawan2 beskem Lebak pun mengajak kami mengunjungi Paguron yang masih termasuk kawasan RW 07 itu. Kebetulan hari ini, ada kegiatan latihan. Awalnya kita berangkat berlima termasuk kang Barzah, melewati jalan gede di kampung ini. Berjajar ke samping, sehingga menghalangi kendaraan yang mau lewat. Tapi kita merasa tenang, karena ada kang Barzah hehe....Hujan rintik-rintik menambah dramatis perjalanan kami, semua saya lihat pake jaket atw sweeter. Jika di foto dari depan, mungkin kita seperti... boyband yang senang melantunkan lagu2 cengeng.
Sampailah kita di tempat tujuan. Musik pengiring khas Pencak Silat seperti menyambut kedatangan kami, ge err.... Padahal bukan :) ....musik mereka sedang mengiringi lima orang remaja putri berkerudung sedang memperagakan gerakan2 Pencak Silat. Dilihat sepintas, para remaja berkerudung itu terlihat kalem. Padahal mereka adalah “pendekar” silat. Saya berbisik kepada Deni, “matakna, jeung urang Garut mah ulah macem-macem hehe...”. Kebetulan juga, di situ ada Kang Taufik Mahmud yang merupakan guru di Paguron ini, beliau juga adalah kakaknya kang Barzah. Sambil liat pertunjukkan, Deni ngobrol sama relawan dan kang Taufik, saya sesekali memotret pertunjukkan yang kadang menunjukkan gerakan2 berbahaya itu. Apalagi ketika 2 orang anak sekitar umur 8 tahunan (atau mungkin kurang) “bertarung” menggunakan golok dan tongkat. Membuat saya dan Deni “nyengir” (palalaur). Seringkali orang2 di ruangan itu, memberi tepuk tangan, apalagi untuk gerakkan2 yang “hebat”. Namun sayang, kami tidak bisa memotret semua gerakkan2 berbahaya yang mereka peragakkan karena kami tidak tahu kapan adegan tersebut dilakukan, semuanya terjadi terlalu cepat. Sekali lagi, saya memang tidak tahu apa-apa tentang salah satu kebudayaan lokal yang “sangat mengagumkan” ini. Apa yang mereka (pendekar2 ini) cari dengan mempelajari bela diri ini?? Saya yakin bukan prestasi apalagi uang. Kalau berbicara masalah uang, kata Kang Barzah, toh pemerintah daerah lebih rela memberikan uangnya untuk mendukung konstentan penyanyi dangdut di salah satu TV swasta beberapa tahun yang lalu, yang katanya sampe miliaran rupiah, woww! Mungkin hanya karena mendapat publikasi? Tapi jika ada atlet Pencak Silat (juga bidang olahraga lain) berprestasi, kopi-kopi hideungna atuh nya lumayan....dari pada henteu.
Kembali ke pertanyaan tadi....Apa yang mereka cari kalau bukan untuk mempertahankan kebudayaan asli daerahnya??
Setelah latihan selesai, kami pun berniat kembali lagi ke beskem. Ternyata jalan pulangnya tidak melewati jalan besar, tapi melalui gang-gang kecil di antara rumah warga. Sampailah kita di rumah berwarna hijau dengan pagar dari bambu. Usut punya usut, ternyata itu adalah rumah teh Yanti yang adalah salah satu relawan juga di sini. Kita dipersilahkan masuk ke dalam sambil memperkenalkan diri. Kita masuk, yang punya rumah malah keluar. Asyyikkkk lagi...ternyata teh Yanti datang lagi membawa kacang, kopi, dan brownis panas wuuuuuaahhh hhanas...mmmmmhhhmm...wuenak...dingin-dingin gini makan brownis panas. Itu sih ekspresi dalam hati aja hehe....tetep aja ga berani sabet ini itu da sieun dianggap rewog, kakara kenal deuih...Saya dan Deni baru tahu kalau tujuan kita ke sini untuk membicarakan tentang tempat tinggal kita berdua. Wah, kita sangat tersanjung, warga di sini sangat ramah-ramah. Bukannya tidak menghormati tawaran warga, tapi saya dan Deni cukup tinggal di beskem Lebak saja sementara ini, sekaligus mengamati kegiatan di beskem selama 24jam.
Adzan maghrib pun tiba, kami kembali ke beskem Lebak. Para relawan mengajak kita “ngobor” (menangkap belut pake obor, tapi sekarang kebanyakan pake patromak). Wah asik kayaknya! Terakhir kali ngobor waktu SMP duluuuu sekali waktu masih imut-imutnya hehe...ga penting. Kebetulan rumah dulu di tengah persawahan banget. Jadi “sono” kata orang Sunda mah. Ternyata di kampung Panawuan, ngobor masih jadi kebiasaan warga. Terbukti, selain kami, terlihat beberapa petromak menyala di tempat lain. Memang setelah habis hujan, cahaya bulan agak gelap, Belut biasanya suka “nongkrong” ke permukaan. Makanya, pada cuaca seperti ini, Surti dan Tejo enggan untuk mojok di pematang sawah hehe....karena banyak yang ngoborrr.
Pematang sawah yang kecil, licin, seringkali membuat kami terpeleset, apalagi Ilustrator kita wekwekwew....... Tapi semuanya membuat kita tertawa, dan yang tertawa paling kenceng biasanya juga ikut terjatuh hahahaha! Yang tak pernah jatuh hanya sang komandan pembawa patromak (maaf, saya tidak menanyakan namanya tadi), mungkin karena sudah pengalaman. Yang lain merayap, dia berlari. Memang, siapapun juga ada ahlinya, walaupun cuma “sekedar” berlari di pematang sawah apalagi malam hari, saya yakin tidak semua orang menganggapnya gampang. Hal sekecil apapun patut dicoba, itung-itung cari inspirasi. Mungkin saja Azis Zamrud terinspirasi menciptakan lagu “Surti Tejo” setelah beliau ngobor? Atau mungkin bagi orang lain, kebiasaan ini cukup unik, bukan?
Sreng....sreeengngng.....sang fasilitator kita memang serba bisa, selain mengatur kegiatan yang berhubungan dengan CDASC, dia juga sepertinya jago masak. Setelah dibumbui dengan tujuh macam rempah, bunga dan jampi-jampi, belut hasil tangkapan tadi pun digorengnya dengan penuh semangat. Semangat karena laparr mungkin :)
Semua beres, kita pun makan bersama dengan menu istimewa. Belut, tempe goreng, kancing lepis, sambal, kerupuk, dll. Wahhh, kebersamaan dengan orang-orang baru yang menyenangkan. Sungguh awal yang indah... mudah-mudahan semuanya berjalan dengan lancar ke depan....mohon doa restu..!