Situ Cangkuang yang Indah dan Musibah yang Mengerikan


Hari ke-16
Sekarang-sekarang ini, sepertinya cuaca sedang “bad mood”. Saat ini mendung, beberapa menit kemudian panas, lalu hujan. Itulah juga gambaran pagi ini. Mau melanjutkan rencana presentasi tentang logo FASB belum bisa karena sebagian relawan masih di Papandayan sepertinya. Terlalu pagi. Pasti mereka butuh istirahat setelah kembali. Saya pun akhirnya mengajak Deni ke Situ Cangkuang untuk menambah wawasan tentang kebudayaan Garut. Kata teh Yanti, di sana ada museum (kecil) yang mungkin bisa menambah inspirasi. Saya pernah menanyakan ke beberapa orang di sini perihal museum di Garut. Ternyata tidak ada, kecuali di sana. Kami pun berangkat....mega di atas kami sangat putih, sedangkan di Gunung Guntur yang sangat dekat dengan Panawuan sedang mendung.


Seperti yang saya bilang tadi, cuaca memang sedang tidak menentu. Baru saja pergi sekitar 2 km, hujan rintik-rintik. Makin dekat dengan lokasi Candi, sepertinya sudah hujan tadi pagi. Melihat ke langit, memang sangat unik. Sisi lain cerah, yang lain mendung, ada pula sepertinya kawasan yang sedang turun hujan. Kalau di bayangkan, di photoshop, seperti beberapa file imej dengan gambar yang sama tapi mempunyai tingkat saturasi yang berbeda-beda (hehe...mulai ngelantur).

Intinya, saya ingin ke Situ (danau.red) Cangkuang karena sudah lama tidak naik rakit. Ingat waktu kecil dulu di kampung yang tidak terlalu jauh dari sebuah danau kecil yang suka dipakai berenang, juga bermain rakit punya tetangga saya yang kebetulan masih menjadi kuncen sebelum danaunya dibeli oleh salah satu perusahaan air mineral.

Situ Cangkuang terletak di Kecamatan Leles, masih termasuk kabupaten Garut. Tidak terlalu jauh dari pusat kota. Mungkin hanya beberapa kilometer. Ada yang menyebut Candi Cangkuang, karena memang ada sebuah candi peninggalan abad 8M. Kediaman Syekh Arif Muhammad ketika menyebarkan Islam di sana. Yang paling menarik bagi saya adalah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo yang berhadapan dengan gerbang masuk Candi. Dalam komplek tersebut, hanya ada 7 rumah (termasuk 1 mushola) panggung adat Sunda. Tujuh rumah ditujukan kepada putra-putri Syekh Arif Muhammad yang berjumlah 7. “Imah Panggung” yang masih dipertahankan keasliannya tersebut mengingatkan kepada rumah kakek buyut saya dulu. Saya ke wc umum sebentar, ternyata lumayan gelap padahal di luar sangat panas. Ternyata wc tersebut tidak pakai lampu, hanya ada “damar” yang tidak menyala.

Memang, merenung di atas rakit sambil menatap sejauh mungkin sangat menyenangkan...tenang...tenteram....Angin kencang, membuat rambutku yang sudah kurang terurus melambai-lambai ke belakang. Lalu berpikir dalam hati, “coba bawa Camcorder”, pasti keren. Sekalian bikin “pidioklip-pidioklipan” lagu Sunda yang sekarang lagi “booming”, Kabogoh Jauh, edun siganamah....

Kami pulang, di tengah perjalanan macet. Ada apa gerangan. Ternyata ada mobil dengan plat B tertimpa pohon besar yang roboh akibat angin kencang. Memang, ketika kami berada di Candi Cangkuang pun anginnya kuencang sekali. Beberapa cabang dan ranting pohon di sekitar candi seringkali berjatuhan. Di sini pun sepertinya begitu. Hingga pohon sebesar itu bisa roboh. Saya pun langsung mendekati pusat kejadian dengan membawa kamera digital. Potret sana-sini, meskipun ada rasa ngilu karena ternyata kejadiannya parah sekali. Saya melihat darah di jajaran jok tengah. Pohon tersebut ternyata hampir sampai ke lantai mobil. Lalu membayangkan seperti apa orang-orang yang di dalamnya. “Apakah mereka selamat?” sepertinya kemungkinannya sangat kecil. Sementara sebagian warga membantu memotong-motong pohon yang numpang pada kendaraan tadi, sebagiannya lagi saya lihat sibuk dengan urusannya sendiri. Mengambil kayu hasil potongan tadi untuk dijadikan kayu bakar. Mungkin untuk dibagi-bagi ke seluruh warga? Atau untuk dirinya sendiri? Entahlah....Yang jelas, bencana tidak selalu membuat semua orang bersedih...

Haris Gunawan