Kelahiran anak pertama pastilah sangat dinantikan. Begitu juga dengan saya dan istri. Antara perasaan bahagia dan kecemasan menyatu. Prosesnya yang lumayan susah payah membuat saya yang menyaksikan proses kelahirannya semakin cemas. Tidak sampai disitu, ternyata setelah dilahirkan anak saya tidak bernafas sampai beberapa menit kemudian. Itupun harus dibantu dengan oksigen.
Atas saran dokter di Rumah Bersalin ini, dengan beberapa perkiraan resiko yang akan diderita anak saya kemudian, akhirnya anak saya di bawa ke Rumah Sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Kondisinya sangat lemah, seperti pohon yang layu. Saat itu, istri saya tidak sempat melihat anak yang baru dilahirkannya. Bahkan ia tidak tahu kenapa anaknya dibawa ke Rumah Sakit. Saya sengaja menyembunyikan berita kurang baik ini karena khawatir ia ikut cemas. Selama 5 hari saya dan ibu menjaga anak saya yang sedang dirawat sambil sesekali menengok istri dan ibu mertua di Rumah Bersalin yang jaraknya cukup jauh.
Setelah kondisi isteri membaik, di hari keenam, barulah ia menuju Rumah Sakit untuk menemui anaknya. Pertemuan yang penuh haru, tidak terlupakan, ia baru bisa melihat dan mendekap anak yang baru dilahirkannya di hari keenam. Setelah pertemuan itu, saya dan ibu pulang ke rumah yang jaraknya sekitar 2-3km dari Rumah Sakit untuk mandi dan ganti baju. Sesaat setelah masuk rumah, derrrrrrr, bumi tergoncang, ada gempa! Spontan saya pergi ke halaman belakang rumah sambil memeluk ibu. Untungnya hanya beberapa detik saja.
Sesaat setelah gempa, kring-kring, ternyata adik saya dari Garut nelpon dan memberi tahu kalau ia melihat istri dan anak saya di Metro TV baru keluar dari pintu evakuasi Rumah Sakit menuju lapangan. Ahh... mudah-mudahan mereka dan semua orang di Rumah Sakit itu selamat, harap saya waktu itu.
Dalam kondisi anak saya yang masih kuning, atas pertimbangan berbagai hal (yang salahsatunya tagihan yang semakin membengkak), di hari ke sebelas akhirnya kami memutuskan untuk membawa pulang saja. Ternyata ibu dokter yang ini tidak terlalu bawel seperti yang lainnya, walaupun hasil lab menunjukkan masih ada masalah. Terlalu sering kami mendengar kata-kata yang semakin membuat pesimis atas kondisi anak saya. Nanti inilah, itulah, harus diini, diitu, kalau tidak dianu bakal beginilah, begitulah :). Tp ibu dokter yang ini malah mengizinkan pulang dan cuma menyarankan untuk menjemur bayi kami di pagi hari. “Percaya sama Tuhan, insya Allah sembuh”. Alhamdulillah, di tahun ke empat sekarang ini, anak saya sangat sehat. Kalau waktu dilahirkan susah bernafas apalagi menangis, sekarang malah yang paling bawel dan lantang suaranya di antara teman-temannya. Ayyaaaaaaaaahhhh!! hehe...
Loh hampir lupa, saya kan mau membahas tipografi! hehe. Karena sudah terlalu cape, singkat aja ya. Ya intinya itu, huruf ini terinspirasi dari proses kelahiran anak saya. Bentuknya terinspirasi dari lipatan-lipatan pada tubuh bayi yang bikin gemas. Coret coret dengan pensil di kertas koran bekas alas tidur waktu di Rumah Sakit selama 5 hari pertama itu, mengusir kegalauan di sela-sela waktu, ketika ibu saya yang kelelahan sedang tidur.
Ini bukan foto anak saya :) Imej minjem dari http://www.hiren.info |
Sekitar sebulan kemudian, ketika “trauma” sudah mulai hilang. Barulah saya salin di CorelDraw. Dan jadilah seperti di bawah ini. Saya beri nama “Faris”, persembahan sederhana saya untuk seorang anak hebat. Nama lengkapnya Fann Ikra Faris. Mudah-mudah ia masih bisa menemukan tulisan ini ketika sudah tumbuh dewasa. Selamat menikmati!